- Sidak di Pasar Palu, Harga Beras Stabil Rp14–15 Ribu per Kilogram
- Mobil Tertimpa Pohon Tumbang di Jalan Sisingamangaraja, Beruntung Pengemudi Selamat
- Sakit Perut hingga Muntah Usai Konsumsi MBG, Sejumlah Siswa SDN Inpres Boyaoge Dilarikan ke RS
- Diduga Keracunan Akibat MBG, Ratusan Siswa di Bangkep Dilarikan ke RS
- Ahmad Ali Minta Warga Ingatkan Janji Kampanye yang Belum Terpenuhi
- Tahun Depan, Warga Sulteng Bisa Terbang Langsung ke Cina, Korsel, hingga Eropa
- PMI Sulteng Gelar HUT ke-80, Dorong Gerakan #BeraniDonor
- Utamakan Warga, Komisi III DPRD Sulteng Pastikan Penyelesaian Konflik Agraria di Sulewana
- BPBD Sulteng Imbau Warga Waspada Hujan dan Angin Kencang Hingga April 2026
- Kasus Kuota Haji 2024, Ustaz Khalid Basalamah Kembalikan Uang Kuota Haji ke KPK
Menggugat CSR Industri Migas dan Amoniak di Batui: Mengapa Pendidikan Harus Jadi Prioritas?

Keterangan Gambar : Pemuda Batui, Rifat Hakim, S.Sos . (Foto: Dok. Pribadi)
Likeindonesia.com, Batui — Di tengah gegap gempita industrialisasi dan derasnya aliran modal di Batui, sebuah pertanyaan mendasar mengemuka: apa yang benar-benar dirasakan masyarakat lokal dari kehadiran perusahaan migas dan amoniak di wilayah ini?
Batui yang dulunya dikenal sebagai kawasan agraris dan pesisir yang berbudaya, kini menjelma menjadi pusat industri energi di Kabupaten Banggai. Namun, perubahan besar ini tak sepenuhnya menyentuh kebutuhan paling esensial masyarakat — pendidikan.
Baca Lainnya :
- BMKG: Gempa Poso Dipicu Sesar Aktif, 96 Kali Gempa Susulan Tercatat
- Persipal Dapat Suntikan Semangat dari Gubernur Sulteng, Siap Hadapi Liga 2
- Kasus Investasi Bodong OMC Masuk Babak Baru, Polda Sulteng Naikkan ke Tahap Penyidikan
- Residivis Curanmor Kembali Dibekuk, Ngaku Sudah Beraksi di 43 TKP
- Warga Taronggo Morut Hilang di Hutan Saat Cari Damar, Tim SAR Lakukan Pencarian
Ironi pun tampak jelas. Di balik kilauan pabrik dan ladang migas, anak-anak Batui masih bergulat dengan akses pendidikan yang terbatas. “Fasilitas sekolah yang tidak memadai, minimnya beasiswa, kurangnya pelatihan guru, dan tidak tersedianya ruang belajar modern adalah potret nyata ketimpangan yang menganga,” tulis Rifat Hakim, pemuda Batui, dalam opini kritisnya.
Ia menilai kondisi tersebut berdampak langsung pada masa depan pemuda lokal yang makin kehilangan arah dan peluang. “Akibatnya anak muda terus menganggur dan tidak punya skil,” tegasnya.
CSR: Antara Etika dan Etalase
Penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) oleh perusahaan-perusahaan besar di Batui pun menjadi sorotan. Alih-alih menyentuh kebutuhan mendalam seperti pendidikan, CSR seringkali justru tampil simbolik dan seremonial. “Banyak perusahaan besar yang menjadikan program CSR hanya sebagai alat legitimasi dan pencitraan sosial,” ujar Rifat.
Ia mengkritik keras praktik CSR yang lebih sibuk membangun gapura, panggung festival, hingga pembagian sembako musiman. Lebih dari itu, anggaran CSR kerap disalurkan ke wilayah di luar tapak proyek, mengabaikan masyarakat yang terdampak langsung.
Padahal, menurutnya, “Filosofi CSR bukan sekadar ‘tanggung jawab sosial’ yang dangkal, tetapi tanggung jawab moral dan strategis untuk ikut memperbaiki kualitas hidup masyarakat.”
Pendidikan: Jalan Menuju Kemandirian
Bagi Rifat, pendidikan adalah bentuk investasi jangka panjang yang tak bisa ditawar. Ia menyatakan, perusahaan punya kewajiban membangun kapasitas manusia setempat, bukan hanya mengeksploitasi sumber daya alam mereka.
Ia mengusulkan arah baru dalam penggunaan dana CSR, yang menurutnya harus difokuskan untuk:
- Pembangunan laboratorium dan perpustakaan modern
- Pemberian beasiswa bagi siswa dan mahasiswa asal Batui
- Pelatihan guru agar mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman
- Pembentukan pusat vokasi berbasis kebutuhan industri
- Penguatan literasi digital dan sains sejak dini
“Pendidikan bukan hanya membuka pintu mobilitas sosial, tetapi juga membentuk masyarakat yang sadar hak, sadar lingkungan, dan mampu mengkritisi praktik industri yang merugikan,” ungkapnya.
Menolak Pola Eksploitasi Lama
Rifat mengingatkan agar Batui tidak mengulang pola eksploitasi yang pernah terjadi di banyak daerah lain: ketika perusahaan pergi, yang tertinggal hanyalah limbah, konflik, dan generasi yang kehilangan harapan. “Sudah terlalu banyak cerita dari daerah-daerah kaya sumber daya yang warganya justru terjebak dalam kemiskinan struktural,” tulisnya.
CSR, menurutnya, bukanlah bentuk kemurahan hati perusahaan, melainkan bagian dari keadilan sosial dan tanggung jawab historis. “Dengan mengarahkan dana CSR ke sektor pendidikan, perusahaan turut menjamin keberlanjutan sosial dan menghindari konflik horizontal akibat ketimpangan,” lanjutnya.
Menuntut Masa Depan, Bukan Mengemis
Pada akhirnya, suara Rifat bukan sekadar seruan, melainkan bentuk tuntutan atas hak dasar masyarakat. “Maka, kita tidak sedang meminta. Kita sedang menuntut: Sebaiknya dana CSR perusahaan migas dan amoniak di Batui digunakan untuk pendidikan,” pungkasnya.
Sebab, ketika industri selesai menambang hari ini, hanya pendidikan yang mampu menyelamatkan hari esok. **
Oleh: Rifat Hakim, S.Sos | Pemuda Batui
