Rakyat vs Perusahaan Sawit di Tolitoli: DPRD Sulteng Ambil Langkah Tegas

By Inul Irfani 10 Sep 2025, 09:03:11 WIB Daerah
Rakyat vs Perusahaan Sawit di Tolitoli: DPRD Sulteng Ambil Langkah Tegas

Keterangan Gambar : DPRD Sulteng menggelar RDP terkait konflik agraria yang berlangsung lebih dari 11 tahun di Kabupaten Tolitoli, pada Selasa (9/9/2025) di ruang sidang utama DPRD Sulteng. (Foto: Bimaz/Likeindonesia.com)


Likeindonesia.com, PALU – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) akhirnya menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait konflik agraria yang berlangsung lebih dari 11 tahun di Kabupaten Tolitoli. Rapat berlangsung pada Selasa (9/9/2025) di ruang sidang utama DPRD Sulteng, Jalan Prof. Moh. Yamin Jalur 2, dengan menghadirkan perwakilan masyarakat, pihak perusahaan, serta instansi terkait.


RDP yang dipimpin Wakil Ketua I DPRD Sulteng, Aristan, menjadi tindak lanjut pengaduan warga atas sengketa lahan dengan Perseroan Terbatas (PT) Citra Mitra Palma (CMP) dan PT Tanjung Enim Lestari (TEN). Aristan menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak menolak investasi, namun menekankan bahwa investasi harus berjalan sesuai aturan dan berpihak pada masyarakat.

Baca Lainnya :


Dalam forum tersebut, Marwan selaku perwakilan masyarakat membeberkan sederet persoalan, mulai dari dugaan penyerobotan tanah, ketidakjelasan soal kebun plasma, praktik mafia tanah, hingga tindakan kekerasan yang dialami petani.


“Bertahun-tahun kami sudah menyuarakan masalah ini, tapi sampai sekarang tidak ada solusi. Kami sudah melapor ke desa, kecamatan, hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN), bahkan beberapa kali audiensi, namun hasilnya selalu buntu,” ujarnya.


Dari pihak perusahaan, Saiful Rijal, General Manager PT CMP dan PT TEN, menjelaskan perusahaan masuk ke Tolitoli sejak 2014 atas undangan pemerintah daerah. Ia membantah tudingan penyerobotan dan menyebut pembebasan lahan dilakukan sesuai prosedur. Namun, penjelasannya kerap dipertanyakan pimpinan rapat karena tidak sejalan dengan fakta di lapangan, terutama terkait perubahan izin dari karet dan sengon menjadi kelapa sawit.


“Benar, izin awal adalah untuk karet dan sengon. Karena kondisi lahan tidak mendukung, kami diversifikasi dan kemudian melakukan pembaruan izin, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), serta Izin Usaha Perkebunan (IUP). Seluruh perizinan juga sudah dimigrasikan ke sistem Online Single Submission (OSS),” jelas Saiful.


Pimpinan rapat menegaskan bahwa pembebasan lahan rawan bermasalah karena tidak melibatkan BPN.


“Tanpa keterlibatan BPN, keabsahan lahan bisa dipertanyakan. Data perusahaan jangan sampai berbeda dengan kondisi di lapangan,” tegas Aristan.


Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Konflik Agraria Sulteng, Eva Bande, menyebut akar persoalan berada pada perusahaan yang tidak taat hukum serta lemahnya pengawasan pemerintah daerah.


“Kalau sejak awal perusahaan melibatkan BPN dan menghormati hak masyarakat, konflik sebesar ini tidak akan muncul. Faktanya, plasma tidak jelas, hak petani diabaikan, dan yang dirugikan adalah rakyat,” ujarnya lantang.


Eva juga menegaskan pemerintah daerah ikut bertanggung jawab.


“Mereka tahu sejak awal izin bermasalah, tapi dibiarkan. Negara seharusnya hadir membela petani, bukan melindungi korporasi,” tambahnya.


DPRD kemudian mendorong langkah konkret. Ketua Komisi II, Yus Mangun, mengusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas.


“Tidak bisa selesai hanya dengan rapat biasa. Pansus harus dibentuk agar status perizinan jelas, operasional perusahaan berjalan sesuai aturan, dan masyarakat bisa bertani dengan tenang,” tegas Yus.


Hal senada disampaikan Hasan Patongai, anggota DPRD daerah pemilihan Tolitoli–Buol. Ia menilai perusahaan telah beroperasi tanpa dasar hukum yang kuat.


“Bagaimana mungkin berani beroperasi dengan sertifikat tanah yang tidak jelas? Itu sama saja mendorong masyarakat membuat Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) palsu. Kalau status tanah tidak jelas, jangan dibeli dan jangan dibayar. Ini sudah merugikan masyarakat kami,” tandas Hasan.


Menutup RDP, Aristan menyatakan DPRD Sulteng berkomitmen menindaklanjuti seluruh aspirasi masyarakat dengan membentuk Pansus. Panitia ini akan ditugaskan mengkaji legalitas izin perusahaan, menelusuri dugaan praktik mafia tanah, serta memastikan hak masyarakat terlindungi.


“Rapat hari ini memang belum bisa memberi keputusan final. Namun DPRD berkomitmen membentuk Pansus untuk menyelesaikan persoalan ini secara menyeluruh. Kita ingin investasi tetap berjalan, tapi tidak boleh ada satu pun hak masyarakat yang dikorbankan,” tegas Aristan menutup jalannya sidang. (Bim/Nl)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Instagram, Youtube dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.